Menaikkan
harga bahan bakar minyak merupakan domain kewenangan pemerintah,
berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi. Namun untuk 2012 ini,
kewenangan pemerintah itu dikunci Pasal 7 ayat 6 Undang-undang Nomor 22
Tahun 2011 tentang Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara 2012. Pasal 7
ayat (6) ini menyatakan, "Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak
mengalami kenaikan."
Pemerintah, berdasarkan alasan anggaran yang defisit untuk menambal harga minyak dunia yang melambung kemudian mencoba mengajukan revisi aturan itu. Awalnya, pada Senin 26 Maret, Badan Anggaran DPR membahas kemungkinan mengganti ayat 6 dan menggantinya dengan ayat yang bisa memberi kewenangan pada pemerintah melakukan perubahan harga minyak.
Namun, saat membahas soal itu, tiga fraksi yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Hati Nurani Rakyat dan Partai Gerakan Indonesia Raya keluar dari rapat, menolak rencana perubahan. Enam fraksi tersisa kemudian meneruskan rapat mengonsep munculnya "ayat 6A", ayat yang mengatur bahwa dalam hal minyak mentah dunia mengalami kenaikan atau penurunan 5 persen, maka pemerintah berwenang menyesuaikan subsidi dan mengubah harga.
Namun dalam perjalanannya, syarat 5 persen berubah menjadi 15 persen. PKB kemudian beranjak ke angka 17,5 persen. Kemudian PKS meminta syarat kewenangan mengubah harga harus lebih tinggi yakni saat kenaikan atau penurunan harga minyak dunia minimal 20 persen. PKS pun menambahkan, harga kenaikan atau penurunan rata-rata itu harus dihitung dalam 90 hari terakhir.
Sementara PDIP, Gerindra dan Hanura masih berkukuh, ketentuan yang mengunci harga BBM bersubsidi tak boleh diubah maknanya dengan menambah ayat baru.
Namun kekuatan PDIP, Gerindra dan Hanura jelas minoritas. Jika Golkar solid berada di barisan koalisi, maka klausul 15 persen pun bisa gol karena tanpa PKS pun suara koalisi sudah melebihi 50 persen.
Pemerintah, berdasarkan alasan anggaran yang defisit untuk menambal harga minyak dunia yang melambung kemudian mencoba mengajukan revisi aturan itu. Awalnya, pada Senin 26 Maret, Badan Anggaran DPR membahas kemungkinan mengganti ayat 6 dan menggantinya dengan ayat yang bisa memberi kewenangan pada pemerintah melakukan perubahan harga minyak.
Namun, saat membahas soal itu, tiga fraksi yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Hati Nurani Rakyat dan Partai Gerakan Indonesia Raya keluar dari rapat, menolak rencana perubahan. Enam fraksi tersisa kemudian meneruskan rapat mengonsep munculnya "ayat 6A", ayat yang mengatur bahwa dalam hal minyak mentah dunia mengalami kenaikan atau penurunan 5 persen, maka pemerintah berwenang menyesuaikan subsidi dan mengubah harga.
Namun dalam perjalanannya, syarat 5 persen berubah menjadi 15 persen. PKB kemudian beranjak ke angka 17,5 persen. Kemudian PKS meminta syarat kewenangan mengubah harga harus lebih tinggi yakni saat kenaikan atau penurunan harga minyak dunia minimal 20 persen. PKS pun menambahkan, harga kenaikan atau penurunan rata-rata itu harus dihitung dalam 90 hari terakhir.
Sementara PDIP, Gerindra dan Hanura masih berkukuh, ketentuan yang mengunci harga BBM bersubsidi tak boleh diubah maknanya dengan menambah ayat baru.
Namun kekuatan PDIP, Gerindra dan Hanura jelas minoritas. Jika Golkar solid berada di barisan koalisi, maka klausul 15 persen pun bisa gol karena tanpa PKS pun suara koalisi sudah melebihi 50 persen.
Rakyat Indonesia baru-baru ini diramaikan akan kenaikan harga BBM
bersubsidi, banyak elemen masyarakat Indonesia melakukan aksi
demonstrasi besar-besaran menolak kenaikan harga BBM yang pada akhirnya
para demonstran melakukan tindakan-tindakan anarkis dari mulai
merobohkan pagar gedung DPR,duel antara demonstran dengan polisi sampai
aksi jahit mulut. Dengan naiknya harga BBM maka harga kebutuhan pokok
yang lainnya juga secara otomatis akan mengalami kenaikan harga.
Pemerintah sudah tidak tahan lagi
melihat aksi masyarakat yang begitu anarkis sehingga pada tanggal 30
Maret 2012 diadakan sidang DPR membahas tentang kenaikan harga BBM
bersubsidi . Sidang berjalan sangat tegang dan penuh emosi apalagi
setelah membahas pasal
7 Ayat 6 dengan isi pasal yaitu “harga jual BBM bersubsidi tidak boleh
mengalami kenaikan”, disertai adanya penambahan pasal 7 ayat 6A yang
berbunyi “pemerintah bisa menaikkan BBM bila harga minyak mentah dunia
berfluktuasi lebih atau kurang dari 15% dari asumsi”.
Dari sini saya mempunyai pandangan
bahwa pemerintah sangat tidak konsisten dalam menyelesaikan masalah
ini, seharusnya pemerintah memiliki solusi yang lebih baik dan bijaksana
jangan hanya dengan mudahnya menambahkan ayat 6a begitu saja, karena
dalam hal ini pasal 7 ayat 6 dan pasal 7 ayat 6a itu sangat bertolak
belakang. Untuk itu bagi pihak pemerintah dimohon agar memikirkan nasib
rakyat kecil jangan segala sesuatunya,segala persoalan ataupun masalah
dibebankan kepada rakyat , carilah solusi yang terbaik
untuk rakyat mungkin dengan cara mengurangi pengeluaran negara yang
dianggap berlebihan,seperti rapat kerja diluar daerah,study banding yang
mungkin pada akhirnya hanya untuk rekreasi,dan tinjauan-tinjauan yang
tidak penting lainnya. Mulailah bekerjasama dengan rakyat jangan hanya
mementingkan politik saja.
Tapi
dari yang disampaikan kita tidak bisa mengambil keputusan setuju atau
tidak. Apakah setuju kita dengarkan dulu pandangan dari fraksi-fraksi," Saya
juga sebagai rakyat biasa yang hidup sederhana dengan harga BBM
sekarang saja masih mengalami kesusahan dalam kehidupan sehari-hari
apalagi bila BBM jadi dinaikkan, bagaimana nasib rakyat-rakyat kecil
lainnya termasuk saya pula. Terkadang saya berfikir bahwa orang-orang di
DPR sana berlaku egois dengan tidak mementingkan kehidupan kami sebagai
rakyat kecil.dan menurut saya sebaiknya para dewan dewan memikir ulang
lagi dan menyeimbangkan kondisi rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar